Kamis, 05 Mei 2011

Review Film: The Mirror Never Lies



Film ini diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi, organisasi konservasi World Wide Fund for Nature Indonesia (WWF-Indonesia), dan rumah produksi SET Karya Film. Film yang disutradarai oleh Kamila Andini, putri sutradara senior Garin Nugroho, dan diproduseri oleh Nadine Chandrawinata dan Garin Nugroho, mengangkat kisah kehidupan suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan memuat pesan bagi kita untuk menjaga kelestarian alam.

Dikisahkan seorang anak perempuan Bajo bernama Pakis (diperankan oleh Gita Novalista) yang setelah ditinggalkan oleh ayahnya yang pergi melaut, sehari-hari hidup bersama ibunya, Tayung (diperankan oleh Atiqah Hashiholan). Ia kehilangan ayahnya yang pergi melaut dan belum juga kembali. Pakis percaya bahwa ayahnya suatu hari akan kembali menemui mereka, sehingga lewat cermin yang diberikan ayahnya sebelum ayahnya pergi melaut, Pakis dan dibantu oleh sahabat dekatnya Lumo (diperankan oleh Eko), berusaha untuk mencari tahu keberadaan ayahnya, lewat cermin itu pula Pakis menaruh harapan yang besar bahwa suatu saat akan berjumpa dengan ayahnya. Oleh karena cermin itulah Pakis dan Tayung kerap berselisih paham, Tayung realistis dan pasrah menghadapi kenyataan yang ada, bahwa suaminya sudah lama melaut dan tidak juga kembali. Mereka juga kedatangan seorang tamu dari Jakarta, Tudo (diperankan oleh Reza Rahadian), seorang peneliti lumba-lumba yang juga menjadi guru sementara di sekolahnya Pakis. Atas permintaan kepada desa Bajo, Tudo menginap di rumah kedua Tayung, rumah yang dulunya dihuni oleh suaminya. Mereka menjalani aktivitas kesehariannya sehari-hari sampai akhirnya suatu saat Pakis akhirnya menemukan jawaban atas apa yang dicarinya selama ini.

Keindahan alam Wakatobi memang benar-benar dieksplor secara mendalam di film ini, mulai dari awal film sampai pada akhirnya. Mulai dari keindahan pemandangan di daratan sampai dengan pemandangan di bawah laut Wakatobi yang menyimpan taman laut yang sangat indah. Film ini juga menggambarkan kehidupan keseharian dan budaya dari suku Bajo yakni mulai dari bahasa daerah, rumah diatas laut, pasar tradisional, makanan khas yakni Kasuami, upacara perjodohan ala Wakatobi, nyanyian-nyanyian daerah sampai dengan upacara adat pelepasan hewan-hewan laut di habitatnya.

Dikabarkan pembuatan film ini membutuhkan waktu 2 tahun, rentang waktu yang wajar mengingat penggarapan film ini dilakukan dengan serius. Hal tersebut dapat dilihat dari pemilihan tempat dan waktu pengambilan gambar-gambar pemandangan Wakatobi, pengambilan gambar di bawah laut dimana dalam beberapa adegan mengambil gambar para pemeran yang sedang menyelam di bawah laut tanpa menggunakan peralatan menyelam, adegan-adegan yang melibatkan banyak penduduk asli (Gita Lovalista pemeran Pakis dan Eko pemeran Lumo adalah anak-anak asli Wakatobi), sampai kepada peran Atiqah Hashiholan yang berdialog dengan bahasa suku Bajo, bukan hal yang mudah untuk mempelajari bahasa dan gaya bicara suku tersebut, dalam hal ini acungan jempol layak diberikan untuk Atiqah.

Diatas semua kelebihan film ini, kekurangan dari film ini adalah dari segi cerita, yakni kurangnya jalan cerita yang disajikan, namun dapat dimaklumi bahwa tujuan utama film ini adalah untuk mempertunjukkan keindahan alam Wakatobi sekaligus memperkenalkan budaya-budaya didalamnya. Kekurangan lainnya adalah (di film yang saya tonton) film ini tidak menyediakan teks bahasa Indonesia, melainkan hanya teks bahasa Inggris, padahal sebagian besar dialog dalam film ini dilakukan dengan menggunakan bahasa suku Bajo, untuk penonton yang kurang memahami bahasa Inggis mungkin akan kesulitan untuk memahami beberapa dialog yang disampaikan dalam film ini.

Sebagai info tambahan The Mirror Never Lies juga telah mendapat penghargaan Honorable Mention dari Global Film Initiative pada tanggal 14 April 2011 berdasarkan kriteria penyajian artistik, alur penceritaan, dan perspektif budaya dalam kehidupan sehari-hari.

1 komentar: